Senin, 02 Juli 2012

Ny. Hj. Suhardani Bustanil Arifin & Wisma Anakku

Ny Hj Suhardani Bustanil Arifin ANAK PERLU BEKALPENDIDIKAN AGAMA

 
Tokoh wanita yang satu ini selalu berupaya menyekolahkan anak asuhnya ke sekolah setinggi mungkin, kendati sesungguhnya biaya yang ia keluarkan dari koceknya sendiri cukup besar. Anak asuh yang umumnya dari keluarga kurang mampu itu kini sebagian berhasil mengenyam perguruan tinggi. Bagaimanakah cara Ny Hj Suhardani Bustanil Arifin mengasuh mereka? Bagaimana pula ia menjadikan Al-Izhar masuk lima besar di antara sekolah-sekolah unggulan
di Jakarta?
Setelah jadual wawawancara pertama tertunda karena keberangkatannya ke Jepang begitu mendadak, agaknya cukup lama menanti kembali tokoh yang dijagokan untuk Cerita Sampul ini. Syukurlah, Ny Hj Suhardani Bustanil Arifin, Ketua Umum Yayasan Anakku yang akrab dipanggil Bu Bus ini akhirnya siap untuk diwawancarai kembali. "Saya ke sana melakukan observasi ke universitas, untuk studi banding siswa yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi," ucap Bu Bus di kediamannya saat matahari siang terasa panas menyengat.
Meski masih terlihat letih karena baru tiba tengah malamnya, Bu Bus tetap menerima kedatangan wartawan Majalah GEMARI dengan menampilkan sikap seorang ibu yang ramah dan bersahaja. "Selama di perjalanannya sih tidak capek, tapi tradisi di Jepang yang serba di lantai itu yang 'bikin' pegel-pegel. Namanya orang sudah tua, kalau duduk lama-lama di tikar, bangun lagi susah," ungkapnya santai, kendati tak urung memanggil tukang pijat sebelum bertemu Rahmawati dari Majalah GEMARI.
Perjalanannya ke Jepang memang bukan sekadar main-main, tapi merupakan perjalanan khusus bagi pemerhati pendidikan ini agar dapat meningkatkan pendidikan generasi muda berkualitas. "Di Kyoto, satu komplek universitas memiliki sarana dan prasarana lengkap yang dibutuhkan mahasiswa dari berbagai negara," ucap wanita kelahiran Kaloran, Kutoarjo, Jateng, 15 Mei 1928 ini.
Ada niat untuk mengembangkan Perguruan Islam Al-Izhar sampai ke jenjang perguruan tinggi? "Mendirikan perguruan tinggi itu kan tidak mudah. Saat ini, lebih baik memperbaiki kualitas yang sudah ada," kata wanita bertangan dingin dalam mencetak generasi muda berprestasi ini.

Wisma Anakku
Bermula dari kunjungannya ke Yayasan Sayap Ibu, Bu Bus melihat banyak anak yatim piatu yang ditinggalkan orang tuanya masih dalam keadaan bayi merah. Kenyataan getir itulah yang lalu membuatnya begitu iba. Terlintas di benak Bu Bus, bagaimana masa depan anak-anak tersebut jika keadaan panti itu sendiri sangat memprihatinkan? Tak heran bila kemudian bayi-bayi merah itu ia ambil dan ditempatkan di rumah yang cukup layak.
Di dorong rasa iba, anak-anak tersebut dididik dan diberi fasilitas yang tidak jauh berbeda dengan anak kandungnya sendiri. Rumah yang dilengkapi fasilitas AC, diberi minum susu setiap pagi, mendapat sekolah yang baik dan sebagainya. "Tapi yang saya perbuat justru salah. Menurut saran ahli, anak yatim piatu itu memiliki background lain, sehingga penerimaan lingkungan juga lain," ujar bu Bus, mengutip ucapan para ahli.
Tapi, Bu Bus tetaplah Bu Bus. Ia tetap nekad mengasuh anak-anak yatim piatu itu dengan caranya sendiri. "Saya manjakan mereka, dengan perhatian sama dengan anak-anak saya," kenang Bu Bus, setelah sebelumnya menyesali pula atas inisiatif tersebut lantaran tidak membuat anak asuhnya menjadi manusia mandiri.
Mengaku kurang memiliki banyak pengalaman membesarkan anak dari keluarga tidak mampu (ada anak dari tukang becak, pemulung dan sebagainya), Bu Bus mendatangkan seorang guru yang pandai mendidik mereka. Sayangnya beberapa lama kemudian guru itu meninggal dunia. Sehingga, ia harus pontang-panting mencari guru yang tepat untuk anak didiknya.
Alhasil, sesudah mereka besar, dari 28 anak didiknya yang dikatakan berhasil bisa dihitung jari. Bahkan, ada pula yang harus mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). "Meski begitu, saya bersyukur, karena lima di antaranya ada yang masuk sekolah kedokteran dan pariwisata," jelas wanita yang selalu berupaya menyekolahkan anak asuhnya ke sekolah setinggi mungkin, kendati biaya yang dikeluarkan dari koceknya sendiri.

Tanah beslah
Di tempat yang asri itu, Bu Bus berkisah pula tentang pembangunan Yayasan Anakku. Pada tahun 1987, anak pertamanya membeli tanah beslah bank seluas 2 ha di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Mulanya di atas tanah tersebut akan dibangun sebuah toko. Belakangan ternyata gagal. Pun gagal mendirikan rumah. Bu Bus lalu mengusulkan, "Mengapa tidak dibuat sesuatu yang agak sosial?" Usul itu pun disambut baik oleh anak-anaknya, hingga akhirnya didirikanlah sebuah bangunan untuk yayasan, yang kemudian diberi nama Yayasan Anakku.
Saat pembangunan gedung yayasan, Al-Azhar Kemang butuh gedung untuk siswa SLTP. Namun, gedung belum selesai dibangun, tahun ajaran baru sudah mulai. Rencana tersebut gagal lagi dan dibuatlah sekolah Taman Kanak-kanak yang masih menginduk pada Al-Azhar Kemang.
Lambat laun, sekolah yang dibangun bersama suaminya itu, mencoba mencari citra diri dan lepas dari bayang-bayang sekolah Al-Azhar. Barulah lima tahun kemudian, tepatnya tahun 1992, nama Al-Azhar diubah menjadi Al-Izhar, yang tidak memiliki hubungan apapun dengan Al-Azhar. Meski baru seumur jagung, Perguruan Islam Al-Izhar Pondok Labu naik daun, bahkan para siswanya mampu unjuk gigi dengan kepandaian mereka. Tak pelak bila kemudian Al-Izhar masuk lima besar di antara sekolah-sekolah unggulan di Jakarta.

Mendongeng
Di tengah kesibukannya membangun Al-Izhar, Bu Bus ternyata tetap memiliki perhatian yang besar pada keluarga. Hal yang biasa dilakukan Bu Bus pada keempat anaknya sewaktu masih kecil adalah mendongengkan cerita mendidik hasil karangannya pada mereka sebelum tidur. "Dengan mendongeng, anak lebih mudah memahami nasihat yang ingin saya sampaikan. Kadang anak saya menanyakan, ma si bedu itu bla-bla-bla yah?" ujar ibu dari Arnie Arifin, Alwin Arifin, Alex Arifin dan Emil Arifin, yang semuanya telah berhasil menjadi pengusaha-pengusaha sukses.
Dalam memberi pelajaran tambahan pada anak, mulanya Bu Bus rajin mengarahkan pelajaran. Tanpa disadari, ia telah berlaku layaknya seorang guru pada anaknya di rumah, sehingga anaknya merasa kehilangan kasih sayang seorang ibu. "Saat itu saya sadar, pendidikan yang saya ajarkan terlalu streng, sehingga anak-anak takut pada saya," ucap wanita lulusan OSVO - setingkat dengan SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Putri) - yang mengaku memiliki latar belakang keluarga seluruhnya adalah guru. Tak ayal lagi, ia pun memanggil guru privat untuk anak-anaknya. "Pokoknya, selagi mereka berusia di bawah tujuh tahun, mereka harus diberi bekal pendidikan agama yang cukup. Itu penting," tegasnya.
Manfaat itu dirasakan sangat besar. Itu terlihat setelah anak-anaknya beranjak dewasa. Sebelumnya memang Bu Bus merasakan bahwa anak-anaknya terbawa arus pendidikan Amerika yang jauh dari nilai moral yang baik, sepulang studi dari AS. Bu Bus sadar anak-anaknya sudah sulit diluruskan. "Kalau disuruh salat hanya iya-iya saja, tapi ternyata enggak dijalankan," ucap Bu Bus, yang saat itu sempat enggan bicara banyak pada anak-anaknya.
Akhirnya, Bu Bus yang juga dikenal sebagai tokoh Senam Jantung Sehat Indonesia ini mengajak anak-anaknya untuk bersama-sama menunaikan rukun Islam kelima ke Tanah Suci Mekah. "Saya pikir mereka tidak serius mau ikut. Ternyata, setelah naik haji kelakuan mereka berubah total. Sekarang malah saya yang sering dinasihati masalah agama oleh anak-anak," ungkap Bu Bus yang bersama anak-anaknya kini giat membantu pembangunan masjid.
Memberikan suri teladan yang baik pada anak merupakan bekal utama yang dibangun Bu Bus bersama suami. "Jangan berkelahi di depan anak-anak," kiat nenek sepuluh cucu ini, yang kemudian ditiru oleh keempat anaknya.